Desa Batannyuh berdiri tahun 1603 saka (1681 M), nama Batannyuh diambil dari nama salah seorang anak Raja I Gusti Bebajangan yang memerintah di Beringkit, kemudian ditaklukkan oleh I Gusti Agung Putu dan I Gusti Celuk, Raja Belayu I dalam perang puputan di Beringkit saat itu. Salah satu putra Raja Beringkit ada yang masih hidup bernama I Gusti Kebon Tubuh, diamankan dan dipelihara oleh Raja Kaba-Kaba. Setelah dewasa diserahkan kembali kepada I Gusti Celuk ke Belayu oleh Raja Kaba-Kaba. Oleh karena Desa Batannyuh sedang penataan awal maka Arya Kebon Tubuh ditempatkan di lokasi paling utara dari Puri Belayu, kebon berarti tegal tempat yang lapang kemudian Tubuh diterjemahkan pohon kelapa, sampai saat ini tempat tersebut bernama Desa Batannyuh. (Lontar Para Arya Tatwa, Ida Rsi Agung Oka Dwidja).
I Gusti Agung Putu adalah Cucu dari I Gusti Agung Maruti yang diasuh Raja Tabanan waktu itu yakni Shri Magadha Sakti untuk diajak di Marga selanjutnya bersama I Gusti Celuk membangun Puri Belayu. I Gusti Celuk adalah salah satu Putra dari Ida Arya, yang tinggal di Puri Belayu. Ida Arya adalah salah satu Putra dari Ki Gusti Ngurah Pacung Sakti atau I Gusti Ngurah Ayunan di Perean dengan Ni Luh Jepun (Putri Ki Bendesa Balangan) salah satu pembantu kesayangan I Gusti Ngurah. Pada suatu hari terjadi pertengkaran antara Ni Gusti Luh Pacekan Istri Ki Gusti Ngurah Pacung dengan Ni Luh Jepun yang telah hamil tiga bulan dari hasil melayani I Gusti Ngurah Pacung Sakti. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan Ni Luh Jepun diserahkan kepada Kyai Lanang Unggasan dengan catatan Kyai Lanang tidak boleh menggauli Ni Luh Jepun, Kyai Lanang menerima dengan ikhlas. Keesokan harinya Kyai Lanang Unggasan mendatangi Ida Pedanda Watulumbang mohon agar pernikahannya dapat diberkati sebagai mana mestinya dan menceriterakan segala persoalannya. Selanjutnya Ida Pedanda merestui dan membuatkan upacara seperlunya, termasuk melukat bayi dalam kandungan agar terlahir dengan selamat dan beliau berpesan bila mana lahir diberi nama Ida Arya.
Setelah cukup umur Ida Arya mengambil istri dan mempunyai tiga orang putra dan dua putri, yaitu I Gusti Putu Balangan di Puri Marga, I Gusti Nengah Balangan di Puri Perean dan I Gusti Celuk di Puri Belayu. Kemudian kedua putri Ida Arya kawin masing-masing ke Samu dan yang satunya kawin dengan Kyai Panji dari Toya Anyar. Kemudian, I Gusti Putu Balangan yang meminta I Gusti Agung Putu bersama-sama membangun Belayu.(Tim Sejarah Yayasan Kerti Budaya 2011:168).
Selanjutnya diceriterakan penataan wilayah Puri Belayu oleh I Gusti Aung Putu dan I Gusti Celuk Raja Belayu I. Setelah Desa Batannyuh ditata selanjutnya tahun 1605 saka (1683M) Raja Belayu I memperluas wilayah keselatan menempatkan orang-orang yang memiliki ilmu kenuragan tinggi (manusia tan udi wong) untuk menjaga bendungan/empelan peninggalan Arya Bebajangan agar air tetap bisa mengalir ke persawahan subak Sungi (uma kelod), kini tempat tersebut bernama Umadiwang. Penataan dilajutkan ke wilayah Jabaaud pasca perang, sekarang Jebaud menjdi desa Beringkit beserta penyerahan tanah kesejahtraan di subak Sungi, dan sekitarnya.
Bersamaan dengan terbentuknya Desa Batannyuh yang terdiri dari wilayah Batannyuh dan Umadiwang, tahun 1603-1605 saka (1681-1683M) diserahkan juga hak rakyat sebagai tempat tinggal, tanah ayahan Desa dengan status GW untuk tempat tinggal dan status DD untuk tanah pertanian termasuk tebe, (tanah kesejahtraan). Adapun wilayah kesejahtraan Desa Batannyuh adalah; subak Apit Jaring, berikut subak Abian Pondok Gunung Kaja dan Kelod disisitimur, subak Abian disisi barat (sebutan sekarang di Abian). Subak Kekeran Carik, subak Belusung dan areal tegalan disisi barat/ tepi timur sungai Yeh Sungi, berikut subak Umadiwang menjadi sisi paling barat bagian selatan Desa Batannyuh, dengan batas-batas yang jelas berupa Pura Bedugul dimasing-masing wilayah. Kemudian rakyat Belayu diwajibkan untuk taat dan nyungsung Pura Tri Kahyangan melalui wadah Desa Pekraman.
Setelah I Gusti Agung Putu dan I Gusti Celuk berhasil menyelesaikan Pembuatan sebuah Puri di Belayu lengkap dengan para pengiring, dan tatanan pemerintahannya I Gusti Celuk telah memiliki keturunan yaitu; (1) I Gusti Gede Celuk, (2) I Gusti Nengah Celuk, (3) I Gusti Celuk Puspitasari (4) I Gusti Gede Sengguan, (5) I Gusti Gede Keranyah, (6) I Gusti Putu Sukara, I Gusti Ngurah Gede CS, dan I Gusti Ngurah Wijaya CS, (Keturunan Raja ke 9 dari Puri Belayu), sebagai pewaris Puri Belayu. (Lantar Para Arya Tatwa, Ida Rsi Agung Dwidja)
Diceritakan bahwa I Gusti Agung Putu telah mampu menyelesaikan pembuatan sebuah Puri di Belayu lengkap dengan para pengiringnya atas segala bantuan yang diberikan oleh I Gusti Putu Balangan dari Puri Marga. Di Puri Belayu, beliau mulai mempersiapkan kekuatan dengan membuat pasukan pilihan yang siap tempur dan berani mati lebih kurang empat puluh orang.
Mulai saat itu beliau menamankan pengaruhnya terhadap para penguasa wilayah di sekitarnya. Sepak terjang dan kehebatan I Gusti Agung Putu memang cukup luar biasa. Berita kehebatan I Gusti Agung Putu cepat tersiar ke seluruh penjuru wilayah. Dengan lantang I Gusti Agung Putu mengeluarkan pernyataan akan menyerang siapa saja yang berani menentang beliau. Mendengar berita tersebut para Perbekel atau raja-raja kecil zaman itu merasa was-was takut diserang. Untuk menghindari pertumpahan darah yang menyengsarakan rakyat, maka para raja kecil seperti I Gusti Ngurah Tangeb menyerahkan diri paling awal ke Puri Belayu. Kemudian disusul oleh yang lain seperti I Gusti Ngurah Nguwi, I Gusti Ngurah Beringkit, I Gusti Ngurah Penarungan, dan termasuk I Gusti Ngurah Pupuan. Kecuali I Gusti Ngurah Batu Tumpeng yang pernah berseteru dengan I Gusti Agung Putu, tidak mau menyerahkan diri.
Dengan penyerahan diri para raja kecil itu, diikuti dengan penyerahan daerah yang dikuasainya kepada I Gusti Agung Putu di Puri Belayu, mulailah bergema berdirinya sebuah kerajaan yang dibangun oleh I Gusti Agung Putu dinamai “Kawyapura atau Mengwi”
Dari Puri Belayu, I Gusti Agung Putu bergeser kearah timur dengan membangun Puri Bekak Mengwi dan mendirikan Ganter. Belum merasa Nyman di tempat itu, beliau bergeser lagi kearah selatan dan tiba disuatu tempat untuk membangun istana sebagai Puri Gede Mengwi demikian juga beliau mendirikan Taman Ayu, kini Taman Ayun (Raja Purana Pura Luhur Pucak Bantas, Nyoman Sukada: 2004).
Demikian berdirinya Kerajaan Mengwi yang dipinpin oleh I Gusti Agung Putu maka berakhir pula kekuasaan Puri Gede Pupuan Mengwi di bawah Kyai Anglurah Mengwi VI, karena sudah menyerahkan kekuasaan dan wilayahnya kepada I Gusti Agung Putu di Belayu pada tahun 1622 saka (1700 M). (Tim Sejarah Yayasan Kerti Budaya 2011:120-122).
Setelah I Gusti Celuk ditinggal ke Mengwi oleh I Gusti Agung Putu, dan berpijak dari nama besar Puri Belayu dalam keadaan gemah ripah loh jenawe, tatanan kerajaan yang teratur, pada tahun 1723, I Gusti Gede Sengguan bersama I Gusti Gede Keranyah, expansi ke wilayah kerajaan Ki Pasek di Kuwum Mancak, Raja Pasek dapat ditaklukkan dengan penyerahan wilayah secara deyure dikuasai oleh Raja Belayu, tetapi defakto wilayah diberikan kekuasaan kepada Raja Pasek. Bersamaan dengan kalahnya Ki Pasek, I Gusti Gede Sengguan CS. Menata wilayah dengan membabat hutan/kuwu/bet yang diserahkan oleh Kerajaan Marga dengan menempatkan para rakyat, pada lokasi wilayah yang masih kosong, selanjutnya ditata daerah kuwum-kuwum lainnya dengan pembagian hak tempat tinggal dan tanah kesejahtraan sama seperti wilayah Batannyuh, dengan kewajiban nyungsung Pura Tri Kahyangan, dalam kerangka Desa Pekraman